Computer File
Urgensi keberadaan MPR dalam sistem pemerintahan di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang komunal, mengutamakan kebersamaan, kerjasama (gotong royong), dan musyawarah. Karakter yang demikian berusaha diwujudkan oleh Founding Fathers (Moh. Yamin, Soekarno, Soepomo), setelah menyatukan ide dari beberapa konstitusi negara (Konstitusi Stalin 1936 dan Konstitusi San Min Chu I) untuk membuat suatu lembaga negara dalam pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. Lembaga itu diusung pertama kali oleh Moh. Yamin dengan tujuan agar dapat merepresentasikan sifat khas masyarakat Indonesia yang mengutamakan permusyawaratan. Lembaga negara tersebut diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
MPR dibentuk menjadi lembaga tertinggi negara yang memiliki fungsi sebagai pelaku kedaulatan rakyat Indonesia. Meski pembentukan MPR mengambil model dari dua konstitusi negara, terutama Konstitusi Stalin 1936 (Soviet Tertinggi), tetapi Moh. Yamin tetap menunjukkan kekhasan Indonesia di dalam lembaga ini, yaitu sebagai pelaku kedaulatan rakyat yang mengutamakan prinsip permusyawarahan. Sementara itu, model panutannya, Soviet Tertinggi juga merupakan badan pelaku kedaulatan tetapi kedaulatan pada kaum Ploretar. Sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan cerminan kekhasan sifat masyarakat Indonesia, MPR mengemban tugas yang sangat menentukan terlaksananya pemerintahan dan politik negara. Tugas tersebut ialah; menetapkan dan mengubah UUD, menyusun garis-garis besar daripada haluan negara, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pasca amandemen UUD 1945, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat berubah menjadi lembaga tinggi negara. Upaya ini untuk mendukung terselenggaranya prinsip checks and balances. Prinsip tersebut bertolak belakang dengan prinsip khas Indonesia, yaitu gotong-royong. Selain itu, peniadaan GBHN yang disusun oleh MPR, salah satunya agenda pembangunan ekonomi, membuat praktik perekonomian saat ini dikuasai oleh pemilik modal. Sebagai contoh PT Chevron Pasifik Indonesia. Perekonomian migas Indonesia dikendalikan oleh CPI, sehingga mustahil dapat tercapai kesejahteraan rakyat. Sementara, mengubah sistem demokrasi menjadi demokrasi langsung justru menyimpang dari karakter masyarakat yang menekankan pada hikmat musyawarah. Pemilu tersebut cenderung berprinsip liberalis-individualis. Semua prosesnya dilakukan secara langsung dan bergantung pada angka. Dengan demikian, tidak ada ruang untuk musyawarah, mufakat.
Terlebih lagi perubahan struktur keanggotaan MPR yang terdiri menjadi anggota DPR dan anggota DPD membuat keberadaan MPR lebih tidak berarti. Peran DPD yang sangat terbatas sebagai wakil masyarakat daerah mengakibatkan mustahil dapat terjadi permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia di dalam tubuh MPR yang diwakilkan oleh DPR dan DPD.
Melihat banyaknya anomali yang terjadi pada MPR pasca amandemen UUD 1945, penulis akan coba menganalisis mengenai urgensi keberadaan MPR dalam sistem pemerintahan kita saat ini.
Kata Kunci : amandemen UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat, permusyawaratan, prinsip gotong royong.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp32770 | DIG - FH | Skripsi | FH BON u/16 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain