Computer File
Kajian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan dari pemohon Bachtiar Abdul Fatah yang salah satunya menguji ketentuan pasal 77 ayat (1) KUHAP yang memasukan penetapan tersangka sebagai wewenang dari lembaga praperadilan. Pasal 77 ayat (1) KUHAP akan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka. Sehingga penetapan tersangka yang ditetapkan oleh penyidik dapat diajukan praperadilan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Artinya, jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan ini Mahkamah Konstitusi memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Mahkamah Konstitusi membuat putusan ini dengan mempertimbangkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga asas due process of law harus dijunjung tinggi oleh seluruh pihak lembaga penegak hukum demi menghargai hak asasi seseorang. Sementara mengacu pada KUHAP, Mahkamah Konstitusi berpandangan prinsip due process of law belum diterapkan secara utuh lantaran KUHAP tidak mengakomodir pengujian terhadap alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka apakah diperoleh dengan cara yang sah atau tidak.Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
Seperti diketahui, selama ini penetapan status tersangka yang diberikan oleh penyidik kepada seseorang dilekatkan tanpa batas waktu yang jelas. Akibatnya, orang tersebut secara terpaksa menerima statusnya tanpa memiliki kesempatan untuk menguji keabsahan penetapan itu. Mahkamah Konstitusi mengakui pemberlakuan KUHAP pada 1981 masih belum mengenal penetapan tersangka sebagai salah satu bentuk upaya paksa. Namun seiring perkembangan waktu, bentuk upaya paksa telah mengalami perkembangan dan modifikasi.
Mahkamah Konstitusi pun mempertimbangkan pendapat ahli hukum Arief Shidarta yang menyatakan bahwa 'jika kehidupan sosial semakin kompleks, maka hukum perlu dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna'. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili dalam pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skh7 | DIG - FH | Studi Kasus Hukum | SK-FH WAK k/16 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain