Computer File
Relasi negara dan agama : redefinisi diskursus konstitusionalisme di Indonesia
Maraknya "syariahisasi" dalam bentuk pengadopsian berbagai produk hukum yang terinspirasi dari ajaran keagamaan di tingkat daerah (lokal) tidak hanya bisa dipahami sebagai kesadaran baru dari kehidupan religiussemata tapi juga sebuah bentuk baru perjuangan kaum fundamentalis keagamaan yang sebelumnya menemui kebuntuan di tingkat nasional. Terlepas dari intensnya pengintrodusiran berbagai nilai-nilai modernitas seiring dengan dimulainya era reformasi, ini dimungkinkan karena beberapa faktor berikut yang sangat umum ditemui di berbagai negara yang berada dalam transisi.
Utamanya adalah kelemahan infrastruktur legal-institusional yang dapat menyangga keberlangsungan sistem politik yang demokratis. Misalnya, keadaan ini dibuktikan oleh absennya klausul yang secara tegas menegaskan pemisahan antara agama dan negara sebagai salah satu elemen krusial dalam konstitusionalisme Indonesia. Sikap kompromistis yang tetap dipertahankan sampai saat ini terbukti telah menjadi legitimasi bagi berbagai upaya akomodatif terhadap berbagai bentuk partikularisme, mulai dari Piagam Jakarta sampai Perda Syariah. Dalam konteks itulah, pemanfaatan atau eksploitasi berbagai kelemahan dari sistem demokrasi prosed ural menjadi sesuatu yang sangat pokok bagi keberhasilan proyek syariahisasi. Kelemahan konseptual tersebut pada gilirannya menghasilkan berbagai praktek berpolitik yang cendernng menekankan pada populisme. Menariknya, sikap populistik ini tidak hanya mengemuka di kalangan politisi semata tapi juga telah merasuk di kalangan non-politisi, termasuk lembaga peradilan. Lebih jauh, sangatlah masuk akal bila legislasi moralitas pun tidak hanya mendapatkan persetujuan dari kalangan awam tapi juga dari akademisi yang seharusnya berperan sebagai "the guardian of conscience" - yang tidak hanya mendasarkan pertimbangan pada aspek emosional semata tapi juga rasionalitas. Kegagalan ini tidak bisa dilepaskan dari ketidakmampuan mereka dalam mengkaji aspek filosofis yang terkandung dalam bahaya laten dari penginkorporasian moralitas dalam hukum formal.
Bahaya tersebut sangat terkait erat dengan terbukanya pintu bagi pelanggaran terhadap berbagai hak sipil yang telah diakui secara internasional. Pada umumnya, kajian yang ada menekankan akan kelemahan dari pendekatan skripturalis yang cenderung tekstual dibanding pendekatan liberal. Tapi, studi ini berpendapat, tanpa menafikan pentingnya agama dalam kehidupan publik, masalah ini jauh lebih kompleks dari sekedar isu penafsiran atas ajaran keagamaan. Selain keunikan dari faktor sosio-kultural yang ada di dalam masyarakat sendiri, yang hanya mampu menghasilkanantusiasme beragama yang artifisial, mulai dari perbarlkan syari'ah sampai layanan pesan singkat (sms) keagamaan, adalah terlalu kuatnya masyarakat di hadapan negara. Kedua faktor di atas telah berkontribusi kuat bagi maraknya pengadopsian perda syariah di berbagai daerah sekaligus sebagai legitimasi legal dalam kontruksi sistem bukum nasional. Selain itu, studi ini pun mengonfirmasi sifat melanggar kewajiban Indonesia di bawah hukum internasional yang pada gilirannya dapat mendorong bagi hadirnya pertanggungjawaban internasional.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
dis222 | D/DIG - PDIH | Disertasi | DIS-PDIH JUN r/11 | Perpustakaan (PDF) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain