Computer File
Pemberlakuan hukum kasepekang pada masyarakat hukum adat Bali dikaitkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pulau Bali merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia yang terkenal dengan masih kentalnya hukum adat sebagai suatu pedoman pola perilaku masyarakatnya. Kekentalan akan mengenai hukum adat Bali terlihat dari pemberlakuan awig-awig yang bersumber pada konsep Tri Hita Karana. Menurut etimologi kata “awig-awig” berasal dari kata “wig” yang artinya rusak sedangkan “awig-awig” artinya tidak rusak. Maka secara harafiah awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik dan juga dituangkan kedalam aturan-aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sehingga menimbulkan suatu pengertian pertaturan hidup bersama bagi krama desa adatnya. Salah satu sanksi berat atas pelanggaran awig-awig disebut sebagai sanksi kanorayan. Penjatuhan sanksi tersebut melakukan pengucilan terhadap krama desa yang melanggar peraturan awig-awig dan tidak mengindahkan undangan pemanggilan pembinaan (paruman sangkep) sebanyak 3 (tiga) kali. Pengucilan tersebut bertentangan dengan pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Penelitian ini bermaksud mengkaji pertentangan ketentuan yang ada pada dua system hukum yang berlaku di dalam suatu Negara yaitu hukum nasional dan hukum adat. Penelitian ini juga mengkaji bagaimana keberadaan hukum adat kasepekang berupa pengucilan (kanorayan) dikaitkan dengan keberlakuan hukum adat di Indonesia, dan juga apakah hukum adat kasepekang berupa pengucilan (kanorayan) bertentangan dengan Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Penelitian ini bertujuan menjelaskan serta menganalisa keberadaan hukum adat kasepekang berupa pengucilan dan juga menemukan apakah hukum adat tersebut bertentangan dengan aturan hak asasi manusia.
Hasil dari penelitian ini adalah penjatuhan sanksi adat kasepekang berupa pengucilan (kanorayan) merupakan salah satu klasifikasi sanksi kasepekang. Sanksi ini ada untuk menjaga eksistensi dari awig-awig yang hidup dalam desa pakraman. Apabila dikaitkan dengan Pasal 34 UU HAM maka sanksu adat kasepekang berupa penguncilan (kanorayan) bertentangan dengan isi pasal tersebut.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp34159 | DIG - FH | Skripsi | SKP-FH BAN p/16 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain