Computer File
Kedudukan dan peran pengadilan tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia = The role and legal standing of Indonesia anticorruption court on the criminal justice system of Indonesia
Tujuan mulia dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai
negara hukum sebagaimana termuat dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sejatinya adalah kerangka
dasar tentang bagaimana negara dapat memberi perlindungan, kesejahteraan, dan
kemakmuran bagi setiap warga negara. Negara Republik Indonesia telah mencapai
hampir 60 tahun merdeka dari cengkeraman pejajah, namun tujuan sakral tersebut
belum juga dapat digapai oleh seluruh rakyat Indonesia. Penyebab terlambatnya pencapaian
tersebut ditengarai oleh berbagai permasalahan yang salah satu di antaranya
adalah masih sering terjadinya praktik korupsi.
Mengigat tindak pidana korupsi sudah merupakan “extra ordinary crime”
(kejahatan luar biasa), maka metode penegakan hukumnya juga harus dilakukan
dengan cara-cara yang luar biasa pula. Di antaranya dengan membentuk suatu badan
khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional, dan berkesinambungan. Selanjutnya guna memenuhi kebutuhan tersebut
dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi yang tugas utamanya adalah melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas perkara tindak pidana korupsi. Semua
proses yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi akan terasa bermakna,
berguna, dan bermanfaat manakala ada lembaga yang menerima, memeriksa, dan
memutus perkara tersebut secara adil, jujur, benar, dan bermartabat, serta berintegritas
tinggi. Harapan tersebut diwujudkan dengan membentuk Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi ini
diharapkan menjadi “trigger mechanism” (sarana pemicu), sedangkan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi diharapkan menjadi lembaga yang menghasilkan putusan
yang berdasarkan hukum, undang-undang, kebenaran, dan keadilan yang sesuai
dengan keadilan masyarakat dan keadilan terdakwa itu sendiri serta membuat
“detterent effect” (efek jera).
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006,
19 Desember 2006 dinyatakan bahwa Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan Pasal 53
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan
perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini.
Berangkat dari semua uraian di atas, penulis mencoba menulis karya ilmiah
dalam bentuk disertasi dengan judul: Kedudukan dan Peran Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Penelitian ini diharapkan
dapat menjawab dua permasalahan pokok. Pertama, apakah dengan dibentuknya
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebabkan terpenuhinya asas Sistem Peradilan
Pidana yang integral? Kedua, bagaimanakah kedudukan dan peran Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia?
Penelitian ini berpijak pada tiga teori utama (grand theory): Teori Negara
Kesejahteraan, teori madya (middle range theory): Teori Utilitas, dan teori terapan
(applied theory): Teori Hukum Pembangunan (Teori Fungsi Perkembangan Hukum
dalam Masyarakat). Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif analisis
dengan metode pendekatan yuridis normatif (legal research).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang pada mulanya tidak jelas dan tidak sesuai perintah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena hanya mengait pada salah satu
pasal dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi jelas setelah
terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai konsekuensi logis atas Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Dengan
demikian kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah sesuai dengan asas
Sistem Peradilan Pidana yang integral, sedangkan peran Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi jelas telah sesuai dengan ketiga teori di atas mengingat upaya pengembalian
negara yang dikorupsi terdakwa merupakan salah satu upaya turut serta mensejahterakan
rakyat Indonesia, berguna dan bermanfaat bagi penegakan hukum yang sesuai
dengan hukum, undang-undang, kebenaran, keadilan masyarakat dan keadilan
terdakwa itu sendiri, serta mengubah paradigma lama yang menganggap bahwa
perilaku koruptif adalah hal biasa. Dalam konteks inilah penulis menganggap
paradigma lama itu harus diubah dengan prinsip ”membiasakan yang benar, bukan
membenarkan yang biasa”. Dalam penelitian ini juga penulis menyarankan agar pihak
yang berkompenten segera membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara
bertahap di tujuh Ibukota Provinsi di Indonesia sesuai perintah Undang-undang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
dis105 | D/DIG - PDIH | Disertasi | 345.023 23 MAC k/10 | Perpustakaan (PDF) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain