Computer File
Mekanisme pertanggungjawaban negara terhadap pencemaran lingkungan hidup akibat konflik bersenjata internasional
MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA TERHADAP PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL. Topik
ini menjadi menarik untuk didiskusikan karena, seperti yang telah kita ketahui, setiap konflik
bersenjata internasional tidak hanya menyebabkan kematian, tetapi juga kerusakan-kerusakan
lainnya. Kerusakan-kerusakan tersebut bukan hanya yang dirasakan langsung oleh manusia
tetapi juga yang secara tidak langsung memengaruhi kehidupan manusia. Lingkungan hidup
adalah salah satu objek dari kerusakan tersebut. Kerusakan lingkungan, baik berupa
pencemaran atau lebih parah daripada pencemaran, secara langsung ataupun tidak langsung
memengaruhi kehidupan manusia, menyebabkan banyak sekali kerugian dan isu-isu
kesehatan. Terlebih lagi, penderitaan ini akan terus berlanjut untuk jangka waktu panjang
karena kerusakan lingkungan bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah diperbaiki dalam
jangka waktu singkat. Namun, negara-negara yang terlibat di dalam konflik bersenjata
internasional terkesan tidak peduli mengenai kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan,
mereka bahkan terkesan memiliki pendapat bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang
penting. Berdasarkan fakta ini, penulis berpendapat sangatlah penting untuk mengetahui
penyebabnya.
Permulaan pembahasan ini adalah mengenai bagaimana Hukum Lingkungan dan Hukum
Humaniter mengatur tentang prinsip perlindungan lingkungan hidup dalam keadaan konflik
bersenjata internasional. Baik Hukum Lingkungan maupun Hukum Humaniter telah memiliki
aturan-aturan yang cukup jelas mengenai hal ini. Di dalam Hukum Lingkungan misalnya,
mewajibkan negara-negara untuk menerapkan prinsip kehati-hatian sebelum melakukan
serangan-serangan dan juga mewajibkan negara-negara yang menyebabkan kerusakan
lingkungan (baik berupa pencemaran atau kerusakan yang lebih parah) untuk membayar
kerusakan tersebut, prinsip ini dikenal dengan sebutan polluter pays principle. Sama dengan
Hukum Lingkungan, Hukum Humaniter juga mempunyai aturan-aturan yang melarang
penyerangan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang menyebar luas, parah dan
bertahan hingga jangka waktu yang lama. Pelarangan ini dengan membatasi alat-alat dan atau
cara-cara dalam berperang itu sendiri.
Prinsip perlindungan terhadap lingkungan yang telah dinyatakan sebelumnya dapat
ditemukan di dalam perjanjian-perjanjian, sebagai contoh di dalam Protocol Additional to the
Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of
International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977, selain itu juga telah berkembang
sebagai Hukum Kebiasaan Internasional. Sebagai akibatnya, prinsip perlindungan lingkungan
hidup ini juga mengikat para pihak yang tidak meratifikasi Protokol I Konvensi Jenewa.
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa negara-negara yang menyebabkan kerusakan
lingkungan diwajibkan untuk membayar atau melakukan reparasi. Hal ini juga diatur di
dalam Hukum Humaniter. Di dalam Protokol I Konvensi Jenewa, negara-negara yang terlibat
perang dan melakukan kerusakan lingkungan wajib untuk membayar kompensasi. Hal serupa
dapat ditemukan di dalam daftar aturan Hukum Kebiasaan Humaniter Internasional yang
dikeluarkan oleh ICRC (International Committee of the Red Cross), negara yang melakukan
penyerangan juga diwajibkan untuk melakukan reparasi meskipun tidak dijelaskan lebih
lanjut bentuk reparasi tersebut, apakah berupa kompensasi, restitusi atau satisfaction.
Lebih lanjut, Hukum Internasional menyediakan mekanisme-mekanisme yang dapat
digunakan untuk meminta kompensasi kepada negara yang menyerang dan menyebabkan
kerusakan lingkungan. Mekanisme-mekanisme ini dapat berupa mekanisme melalui jalur
Alternative Dispute Resolution, melalui Majelis Umum PBB dan melalui Mahkamah
Internasional sebagai salah satu mekanisme yang melalui peradilan. Seluruh mekanisme
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Meskipun telah terdapat aturan yang jelas dan mekanisme untuk meminta
pe1ianggungjawaban, yang te1jadi di dalam praktik tidak seideal seperti yang te1iuang di
dalam aturan-aturan tersebut. Seperti yang penulis telah nyatakan, negara-negara terkesan
tidak peduli. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah permasalahan bukan terletak pada
aturannya melainkan pada pelaksanaan aturan-aturan tersebut terutama mengenai permintaan
kompensasi. Fakta bahwa tidak adanya badan kompensasi permanen internasional
menyebabkan ketidak efisienan dan tidak efektifnya implementasi dari aturan-aturan dan
mekanisme yang ada. Oleh sebab itu, penulis berpendapat sangat penting untuk dibuat badan
kompensasi permanen internasional. Pendirian badan ini, dapat mengisi kekosongan yang ada
diantara aturan dan implementasi aturan tersebut. Selain itu, dapat pula mendukung
perkembangan prinsip perlindungan lingkungan hidup sendiri.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp7370 | DIG - FH | Skripsi | SKP-FH PER m/11 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain