Computer File
Tinjauan Hukum Islam terhadap kewenangan Yayasan Paramadina dalam melaksanakan perkawinan beda agama
Otoritarianisme adalah sebuah tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang
dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan
keagamaannya (tafsir atas teks Suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya
dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap
salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan.
Dalam sejarah peradaban Islam, otoritarianisme berulangkali terjadi menimpa ulama dan intelektual. Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab fikih Hanbali) mengalami penyiksaan oleh khalifah Al-Ma'mun karena memiliki pandangan yang berbeda dengan teologi yang dianut negara saat itu. Negara berpandangan bahwa Al-Qur'an
adalah makhluk sementara Imam Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa Al-Qur'an bukan makhluk. Ibnu Rusyd (seorang tokoh filsafat Islam) diasingkan dan karya-karyanya dimusnahkan pada masa Khalifah Al-Manshur karena dianggap
menyirnpang dari syariat Islam dan lebih mengedepankan rasionalisme. Abu Manshur
Al-Hanbal (seorang tokoh tasawuf falsafi) mendapatkan hukuman mati karena
mengajarkan doktrin wadhatul wujud (pantheisme) yang e1ianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Peristiwa seperti itu terus terjadi hingga saat ini. Mahmoud Muhammad Taha dinyatakan murtad dan dihukum mati oleh pemerintah Sudan karena gagasan tafsir Al-Qur'an yang sejalan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang
dikembangkannya berlawanan dengan hukum Islam yang diterapkan secara revivalis
oleh pemerintah berkuasa. Nawal el-Sadawi (intelektual feminis asal Mesir)
mendapatkan vonis murtad dan harus bercerai dengan suaminya karena gagasan
feminisme yang dikembangkannya berlawanan dengan pandangan ulama konservatif
di Mesir. Masih banyak lagi deretan kasus seperti ini baik yang terekam dalam
dokumentasi sejarah ataupun yang tidak terdokumentasikan.
Beberapa kasus di atas memiliki akar persoalan yang sama. Yaitu berkaitan dengan ide yang dianggap bertentangan atau melanggar kemapanan doktrin yang sudah ada kemudian disikapi dengan pelarangan atas nama agama, baik yang
dilakukan negara atau kelompok masyarakat. Argumentasi yang biasa dikemukakan
untuk melakukan pelarangan pun tidak mengalami perubahan dari masa ke masa.
Tidak jauh dari tuduhan merusak akidah, mengingkari prinsip-prinsip agama,
melecehkan ajaran-ajaran agama, bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah, atau
yang paling parah adalah membungkus kesesatan dengan Ayat-ayat Al-Qur'an dan
menjadi agen kelompok non Muslim sebagai upaya untuk menghancurkan Islam dari
dalam. Seperti Al-Ma'mun saat memutuskan untuk menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal termasuk golongan yang tidak mengenal Tuhan, buta akan Allah, jauh dari kebenaran agama, tidak bertauhid dan
tidak beriman.
Pelarangan terhadap sesuatu perbuatan seringkali diyakini sebagai upaya
untuk menegakan kehendak Tuhan. Disini barangkali letak persoalannya. Apakah
ada selain Tuhan yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya yang menjadi kehendak Tuhan? Apakah ada manusia yang memiliki kewenangan untuk memposisikan diri sebagai wakil (tentara) Tuhan yang berhak untuk menentukan tindakan seseorang
mendekati atau menjauhi kehendak Tuhan?
Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah
mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya
Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir
atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (readet) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya
pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan menafJkan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya. Disini terjadi proses perubahan seeara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author,
dalam arti reader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam
diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika
sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran hukum Islam.
Begitu juga dengan status hukum perkawinan beda agama menurut hukum Islam. Adakah -selain Tuhan itu sendin- yang berhak seeara otoriter mengatakan bahwa Tuhan secara pasti menghalalkan atau mengharamkannya?
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp9595 | DIG - FH | Skripsi | SKP-FH PAU t/05 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain