Computer File
Penggunaan alat pendeteksi kebohongan dalam proses penyidikan mengungkap suatu tindak pidana dihubungkan dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Kecanggihan teknologi semakin berkembang dengan pesat sehingga mempengaruhi kehidupan manusia. Teknologi informasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi dan informasi yang dewasa ini mempengaruhi kehidupan perekonomian secara global khususnya di Indonesia dan secara tidak langsung telah mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang dan masa yang akan datang. Bentuk-bentuk kejahatan yang ada semakin hari semakin bervariasi seperti pencurian data, pelanggaran hak cipta, termasuk penipuan untuk memperoleh informasi personal melalui pengiriman e-mail atau disebut dengan phishing. Kejahatan atau tindak kriminal yang semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah sehingga menyebabkan pemerintah sebagai pelayan dan pelindung masyarakat berusaha untuk menanggulangi meluasnya kejahatan, sehingga kejahatan tersebut dapat dipidana. Pelaku kejahatan seringkali tidak mengakui kejahatan yang dilakukannya. Hal tersebut melatar belakangi diciptakannya alat untuk mendeteksi kebohongan. Pada tahun 1902 muncul sebuah alat yang bemama lie detector yang merupakan alat yang pertama kali digunakan untuk mendeteksi kebohongan seorang tersangka. Lie detector digunakan untuk mengetes dan merekam aktivitas elektrik dari otak manusia. Indonesia mulai mengenal alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada tahun 1994. Keberadaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) di Indonesia merupakan mekanisme legal di Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk menguji bohong atau tidaknya seseorang. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat oleh penulis adalah bagaimana peranan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana serta bagaimana undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Inforrnasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentang pembuktian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan secara deskriptif analisis dengan
menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif. Data hasil penelitian
dianalisis secara kualitatif yuridis, yang mana peraturan perundang-undangan yang
satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta
memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dilakukan karena kekurangan saksi-saksi dan keterangan dari tersangka, penyidik dapat menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai altematif. Berkenaan dengan alat bukti teknologi inforrnasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik/inforrnasi sebagai alat bukti di pengadilan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Inforrnasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil pemeriksaan atas keabsahan dari tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diberikan oleh seora
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp26915 | DIG - FH | Skripsi | SKP-FH RAM p/13 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain