Text
Kajian awal penggunaan koagulan magnetik besi nanopartikel (Fe3O4) - protein biji petai cina (Leucaena leucocephala) pada koagulasi limbah cair sintetik pewarna congo merah
Petai cina (Leucena leucocephala) merupakan tanaman yang tumbuh subur di Indonesia. Selama ini, petai cina hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Padahal biji petai cina mengandung protein terutama globulin yang tinggi (± 45 %) dan dapat digunakan sebagai koagulan alami. Globulin pada petai cina merupakan polimer kationik yang dapat mengkoagulasi limbah koloid anionik, seperti pewarna congo merah. Aktivitas koagulasi biji petai cina lebih baik dari biji-bijian lainnya seperti Moringa oleifera karena kandungan globulin yang lebih tinggi. Kinerja koagulan alami dari ekstrak kasar protein sudah optimal, di mana dapat menurunkan konsentrasi zat warna yang tersuspensi, akan tetapi air yang telah diolah memiliki nilai COD yang tinggi, selain juga memerlukan waktu sedimentasi yang lama. Oleh karena itu, alternatif yang digunakan adalah memfungsionalisasi besi nanopartikel Fe3O4 dengan protein. Fe3O4 memiliki kemampuan berikatan secara selektif dengan polimer seperti protein sehingga zat-zat organik lainnya dari hasil ekstrak kasar tidak terbawa saat proses koagulasi. Selain itu, kombinasi keduanya menghasilkan koagulan yang bersifat magnetik sehingga proses sedimentasi dapat lebih cepat karena bantuan medan magnet eksternal dan gaya gravitasi. Ekstraksi protein biji petai cina dilakukan menggunakan metode ekstraksi padat cair yang dilangsungkan secara batch dengan pengontakan secara dispersi. Pelarut berupa larutan garam NaCl 1 M pada pH 9,waktu ekstraksi 60 menit, dengan rasio petai cina terhadap pelarut 1:20. Fungsionalisasi Fe3O4 dilakukan secara batch dengan memvariasikan konsentrasi trinatrium sitrat sebesar: 0,25; 0,50; 0,75; dan 1,0 M serta pH pada rentang 3 – 6 dengan respon berupa kapasitas adsorpsi protein (metode Bradford). Uji kinerja koagulan magnetik besi nanopartikel – protein biji petai cina dilakukan menggunakan jar test apparatus dengan memvariasikan dosis koagulan pada rentang 30– 300 mg/L dan pH 2 – 12. Respon yang diamati berupa penurunan konsentrasi zat warna diukur (spektrofotometri UV-Vis), volume sludge, dan COD (titrasi permanganometri). Pada rentang pH fungsionalisasi 3?4, kapasitas adsorpsi meningkat dan mencapai maksimum pada pH 4 (7,56 mg eq BSA/mg besi), sedangkan pada pH 4?6, kapasitas adsorpsi menurun. Kapasitas adsorpsi protein juga meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi trinatrium sitrat, namun mencapai titik kritik pada 0,5 M dan cenderung konstan apabila konsentrasi ditingkatkan. Sementara itu, aktivitas koagulasi terjadi paling maksimum pada pH 3, namun pada pH 4?10, koagulasi tidak terjadi. Performansi koagulasi juga meningkat seiring dengan peningkatan dosis koagulan, namun mencapai titik kritik pada 210 mg/L dengan hasil yang diperoleh adalah penurunan konsentrasi zat warna 80% dan volume sludge sebesar 2 mL/L. Kinetika koagulasi mengikuti persamaan kinetika pseudo orde 2 yang menggambarkan proses chemisorption akibat interaksi dipol-dipol atau hidrogen antara koagulan dan molekul congo merah. Apabila dibandingkan dengan koagulan hasil ekstrak kasar protein saja, koagulan besi-protein memberikan kinerja yang lebih baik yaitu waktu koagulasi yang lebih cepat yaitu 20 menit dengan % penurunan konsentrasi zat warna yang sama baiknya. Nilai COD untuk koagulasi dengan hasil ekstrak protein saja lebih tinggi dibandingkan koagulan besi-protein.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp39565 | DIG - FTI | Skripsi | TK REY k/19 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain