Text
Proses pewarisan atas harta warisan dari Pangeran Madrais setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 779K/PDT/2017 mengenai Penolakan pengembalian harta warisan komunal kepada masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR)
Pada pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatakan bahwa:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Meskipun demikian, pengakuan formal pada masyarakat Hukum Adat yang kuat
masih belum mendapat bentuk yang tepat. Sebagai akibatnya keterpinggiran
masyarakat Hukum Adat masih disaksikan hingga saat ini seperti yang terjadi
pada keturunan dari Pangeran Madrais selaku masyarakat Hukum Adat. Salah
satu harta warisan Pangeran Madrais berupa tanah yaitu tanah Leuweung Leutik
dijual oleh beberapa ahli waris kepada pihak lain sehingga dapat menyebabkan
hilangnya hak masyarakat Hukum Adat terhadap harta warisannya yang
seharusnya dapat diteruskan secara turun temurun dan dapat digunakan oleh
seluruh anggota persekutuan untuk dikelola secara bersama-sama dan bukan
dimiliki oleh orang perorangan. Saling gugat kemudian terjadi sampai saat ini
sehingga menjadi sengketa atau konflik terkait tanah yang belum menemukan
penyelesaian. Proses pewarisan dari Pangeran Madrais menjadi fokus dalam
penelitian ini untuk mengetahui kedudukan hukum ahli waris atas harta warisan
dari Pangeran Madrais. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
perlindungan hukum terhadap keturunan dari Pangeran Madrais yang dirugikan
dengan dijualnya tanah Leuweung Leutik karena tidak dapat lagi mengelola tanah
Leuweung Leutik secara bersama-sama.
Metode Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Sosiologis dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha mendapatkan informasi yang
selengkap mungkin mengenai pewarisan atas harta warisan dari Pangeran
Madrais. Informasi yang digali melalui wawancara mendalam dan observasi
terhadap informan dalam pengumpulan data langsung di Kelurahan Cigugur
Kabupaten Kuningan serta mencari fakta dari berbagai sumber.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem pewarisan berupa jabatan dari
Pangeran Madrais kepada Pangeran Tedjabuwana memenuhi unsur-unsur sistem
pewarisan mayorat laki-laki karena yang menggantikan kedudukan sebagai kepala
adat adalah anak laki-laki tertua dari Pangeran Madrais. Sedangkan untuk harta
warisan lain yang diwariskan oleh Pangeran Madrais merupakan harta warisan
yang tidak dapat dibagi-bagi kepada ahli warisnya dengan hak milik. Tujuannya
adalah agar harta warisan tetap menjadi satu kesatuan dan tidak dikuasai oleh
orang perorangan dan dapat menjadi pengikat bagi masyarakat adat. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya wasiat yang dituangkan ke dalam Manuskrip.
Penyelesaian sengketa dengan cara diajukan ke Pengadilan bukanlah solusi yang
tepat karena tidak sesuai dengan ciri dari masyarakat Hukum Adat. Sengketa
warisan atas tanah Leuweung Leutik yang diselesaikan dengan cara musyawarah
mufakat menjadi penyelesaian damai dan adil sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat adat dan para pihak dapat dikembalikan menjadi utuh dan rukun
seperti sedia kala. Bentuk perlindungan hukum terhadap harta warisan dapat
dilakukan dengan cara memasukkan harta tersebut dalam kriteria Cagar Budaya
sehingga harta tidak dibagi-bagikan secara individual dan dapat dikelola bersama
untuk menjaga keutuhan masyarakat adat.
Kata Kunci: Masyarakat Adat, Pewarisan, Manuskrip, Leuweung Leutik,
Perlindungan Hukum, Musyawarah dan Mufakat.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp39600 | DIG - FH | Skripsi | SKP-FH IND p/19 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain