Computer File
Bentuk dan tatanan massa bangunan sebagai akibat pembangunan jalan di perkotaan : studi tentang bentuk, fungsi, tatanan bangunan, pada kapling hasil bentukan pembangunan jalan arteri dengan kasus jalan Soekarno-Hatta dan Jalan Lingkar Selatan Bandung
Kehidupan manusia di jalan-jalannya merupakan nilai keberhasilan dari sebuah kota.
Dalam perencanaan kota, jalan seringkali tidak dipertimbangkan sebagai ruang publik bagi
manusia, jalan dianggap sebagai satu jalur sirkulasi kendaraan dan batas administrasi saja.
Perencanaan jalan yang tidak mempertimbangkan skala manusia, menjadikan ruang kota tersebut
tidak berfungsi dengan baik bagi manusianya.
Mengamati jalan-jalan hasil pembangunan pasca kolonial di kota Bandung, memberikan
kesan dan suasana yang khas dan spesifik bagi yang memandangnya, yaitu ketidakteraturan.
Ketidakteraturan tersebut terbentuk oleh bangunan-bangunan yang berada di sepanjang jalan,
yang membentuk ruang-ruang kota tidak menerus dan tidak efisien.
Di sepanjang jalan-jalan kelas besar seperti jalan arteri, tumbuh usaha-usaha kecil seperti
toko, kios, dan warung yang menempati kapling-kapling kecil. Garis sempadan yang berimpit
dengan jalan, serta tidak adanya jarak antara bangunan, menjadi sesuatu hal yang sangat biasa
terlihat pada jalan-jalan besar.
Selain itu pada kapling-kapling besar pun terjadi ketidakteraturan pada bentukan dan tata
letak massanya. Hal ini terlihat pada muka bangunan-bangunan yang tidak sejajar dengan sisi
jalan, sehingga koridor ruang jalan tidak terbentuk secara menerus, dan menyisakan ruang-ruang
mati berbentuk iregular. Mengapa jalan terbentuk demikian?
Terdapat dua jalan arteri primer di kota Bandung, yaitu jalan Soekarno-Hatta dan jalan
Pasteur-Surapati, dan dua jalan arteri sekunder, yaitu jalan Lingkar Selatan, dan jalan Asia Afrika.
Sedangkan jalan arteri yang berbentuk setengah lingkaran adalah jalan Soekarno-Hatta, dan jalan
Lingkar selatan.
Jalan tersebut membentuk fisik kota memusat secara radial concentric. Implikasi dari
bentuk jalan lingkar ini adalah, jalan memotong atau membelah miring pada kawasan terbangun
kota, juga pada pola grid cadaster yang sudah ada, yang berasal dari sawah dan kebun.
Dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan jalan yang tidak mengikuti pola cadaster,
dan pola kawasan terbangun yang sudah ada terhadap bentukan arsitektur sangat besar. Pada
koridor jalan tersebut, kapling-kapling terpotong miring berubah menjadi bentuk-bentuk iregular,
dan orientasi kapling terhadap jalan menjadi tidak tegak lurus.
Kapling merupakan salah satu determinan terbentuknya tata letak dan bentuk massa
bangunan, kapling juga merupakan determinan terbentuknya ruang-ruang kota yang efisien. Oleh
karenanya bentuk dan ukuran kapling di perkotaan sangat penting perannya dalam pembentukan
arsitektur kota, baik pada kawasan kota maupun pada koridor jalan.
Dari kategorisasi bentuk-bentuk kapling pada segmen-segmen jalan di Soekarno-Hatta, dan
jalan Lingkar Selatan pada lampiran 2, disimpulkan bahwa: hampir tidak terdapat kapling yang
berbentuk segiempat reguler pada kawasan-kawasan kosong yang terpotong jalan, kecuali pada
kantor-kantor pemerintah. Ukuran kapling pada setiap segmennya sangat bervariasi, baik pada
jalan Soekarno-Hatta, maupun pada jalan Lingkar Selatan. Kapling- kapling berukuran besar
sekali dengan fungsi industri, berdampingan dengan kapling-kapling kecil dengan fungsi hunian.
Kapling-kapling di sepanjang Soekarno-Hatta yang berlokasi di pinggir kota, dengan kaplingkapling
di sepanjang jalan Lingkar Selatan yang berlokasi di dalam kota, tidak mengindikasikan
perbedaan yang signifikan, ini menandakan bahwa, ukuran kapling tidak diatur berdasarkan
lokasinya.
Dari observasi yang dilakukan pada jalan Soekarno-Hatta, pola kapling terbentuk dari pola
sawah. Pola kapling yang terbentuk oleh pola sawah di Indonesia, tidak berorientasi pada arah
tertentu. Yang pasti adalah: pola sawah tersebut adalah cikal bakal terbentuknya pemukiman
kampung yang terjadi secara spontan. Oleh sebab itu dalam perencanaan jalan, pola sawah
tersebut dapat dijadikan sebagai patokan dalam pembentukan pola jalan di masa yang akan
datang.
Pada segmen jalan yang tidak terpotong miring, bentukan arsitektur pada koridor jalan, lebih
teratur dan tertata daripada pada segmen jalan yang terpotong miring. Ruang jalan membentuk
kontinuitas ruang, dan bangunan-bangunan dapat lebih bisa ditampilkan keindahannya. Ini berarti
bahwa bentuk kapling yang iregular karena terpotong jalan, mempengaruhi bentukan arsitektur
pada koridor jalan.
Jalan Lingkar Selatan juga membelah kawasan terbangun yang merupakan kawasan
hunian kampung. Dampaknya adalah struktur fisik kampung mengalami perubahan. Aksesibilitas
pada fasilitas kampung menjadi sulit, kehidupan sosial penghuni kampung berubah drastis, sanak
saudara terpisah-pisah, dan dampaknya bagi arsitektur kota menyisakan koridor yang kumuh.
Setelah terpotong oleh jalan Lingkar Selatan, hasil bentukan tata bangunan kampung menjadi
semakin tidak teratur. Dengan atap yang terlihat tumpang tindih, material non permanen,
menghasilkan pemandangan yang kumuh. Adaptasi bangunan yang dilakukan masyarakat
dilakukan secara pragmatis, tanpa mempertimbangkan nilasi estetis.
Pasca pembangunan jalan baru pada kawasan kosong di Indonesia tidak diikuti dengan land
readjustment. Masyarakat membangun pada kapling-kapling berbentuk iregular, yang tidak tegak
lurus jalan, dan dengan ukuran kapling yang beraneka ragam. Dampaknya adalah, penataan
bangunan secara arsitektur mengalami kesulitan dalam menghasilkan tata bangunan yang baik.
Pembebasan lahan pada proses pembangunan jalan di Indonesia hanya sebatas kepentingan
marka jalan itu sendiri. Sedangkan dinegara barat, juga di negara-negara Asia seperti China dan
Jepang pembebasan jalan juga meliputi 20 meter di sisi kiri kanan jalan, sehingga tidak mungkin
tumbuh bangunan-bangunan ilegal pada area tersebut. Dan lahan yang dibebaskan tersebut, dapat
ditata kembali oleh pemerintah, tanpa mengalami kesulitan. Di Indonesia permasalahan tanah bagi
masyarakat , merupakan permasalahan yang sangat peka. Hal tersebut menyebabkan sulitnya
program konsolidasi lahan untuk dilaksanakan.
Dengan dibangunnya jalan baru di perkotaan akan cenderung menyebabkan terjadinya
pertumbuhan koridor disepanjang jalan tersebut (Ribbon development). Pasca pembangunan jalan
baru pada kawasan perkotaan yang sudah terbangun, tidak diikuti dengan zoning regulation.
Masyarakat membangun kembali rumah mereka secara self regulated. Perencanaan kota dan
perancangan kota adalah perangkat untuk mengendalikan pertumbuhan kota, agar kota dapat
tumbuh terkendali dan tertata baik. Zoning Regulation di Bandung baru dikenal pada tahun 2004,
pada awalnya zoning regulation ini, diatur bersama-sama dalam peraturan daerah mengenai
peraturan bangunan gedung, yaitu Rancangan Perda tentang Bangunan Perda No. 14 tahun 1998,
UURI No. 28 th 2002 tentang Bangunan Gedung. Jadi zoning regulation pada jalan arteri belum
pernah diberlakukan atau dilaksanakan.
Pada pasca pembangunan jalan, apabila tidak diatur dengan satu perangkat aturan yang
jelas, maka akan mengakibatkan pembangunan pada koridor jalan menjadi tidak terkendali.
Masyarakat akan membangun di sepanjang jalan secara spontan tanpa mengacu pada suatu
peraturan tertentu. Walaupun Rencana Kota sudah ada sejak tahun enampuluh, tetapi rencana rinci
yang berkaitan dengan fungsi, intensitas dan tata letak pada setiap koridor jalan, belum
dilaksanakan. Peraturan yang berlaku pada saat masyarakat meminta ijin mendirikan bangunan di
sepanjang jalan Soekarno-Hatta adalah, mengenai Garis Sempadan Bangunan > 15 meter, KDB,
dan jarak belakang dan samping 2 meter, dan dianjurkan untuk membangun bangunan dengan
jumlah lantai diatas 3 lantai. Sedangkan di Jalan Laswi rumah-rumah dibangun tanpa IMB, diatas
kapling dengan KDB 100%, GSB berimpit pada batas kapling, dan jarak bangunan 0.
Perencanaan jalan yang dibuat oleh para perencana kota, sangat mempertimbangkan fungsi
jalan itu sendiri sebagai wadah untuk melakukan sirkulasi. Perencana transport melihat jalan
sebagai road, sehingga jalan merupakan satu jalur pergerakan kendaraan saja, yang diklasifikasi
berdasarkan lebar jalan dan kecepatan kendaraan. Di Indonesia terbentuknya koridor jalan
merupakan hasil perencanaan ahli-ahli transport, dan lembaga yang menanganinya adalah Bina
Marga. Perencanaan jalan belum melibatkan arsitek, arsitek lanskap, urban designer, sehingga
penyelesaian jalan yang berkaitan dengan urban place belum terwujud. Arsitektur memandang
jalan sebagai urban place, yang harus dikaitkan dengan susunan bangunan-bangunan, dan
sequences dari ruang-ruang kota, dan bagaimana menciptakan tempat yang berkualitas. Oleh
sebab itu peran arsitektur dan urban design sangat penting dalam terbentuknya koridor jalan yang
tertata, teratur dan indah, dan mempunyai makna sebagai wajah kota.
Tata massa bangunan dan ruang yang tidak berpola pada jalan, menghasilkan fasade
bangunan yang tidak harmony, sehingga pada akhirnya menghasilkan wajah jalan yang buruk.
Dengan perencanaan yang tidak mempertimbangkan estetika, menyebabkan jalan menjadi tidak
indah dipandang, dan tanpa makna.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
dis64 | D/DIG - PDA | Disertasi | 711.4 PAR b/07 | Perpustakaan (PDF) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain