Computer File
Kebijakan legislasi tentang sanksi pidana pemilu legislatif di Indonesia dalam perspektif demokrasi = The legislation policy about the legislative election criminal penalty in Indonesia Democratic Perspective
Indonesia sebagai Negara Hukum sudah berdiri sejak lebih dari enam puluh tahun lamanya, kualifikasi sebagai negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar. Penjelasan mengenai “Sistem Pemerintahan Negara” dikatakan “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat)”.Berkenaan dengan hal tersebut maka penulis berpendapat bahwa Negara Hukum (Rechtsstaat) Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diinternalisasi sebagai norma dasar dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan „Negara Hukum Pancasila‟. Dengan demikian konsekuensi dari negara hukum, maka seluruh aktifitas kenegaraan harus selalu didasarkan atas aturan hukum, termasuk dalam pengisian jabatan politik baik melalui pemilihan umum (Election) atau pengangkatan/penunjukan (Appointment.). Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Pendekatan Yuridis Normatif, dengan maksud untuk mencari asas hukum, teori hukum dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum baru dari sistem hukum nasional. Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini 1) Apakah Kebijakan Legislasi Pemilu Legislatif di Indonesia telah berjalan secara demokrasi? 2) Bagaimanakah penegakan sanksi pidana pemilu terhadap anggota legislatif sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan ? 3) Apakah penerapan sanksi pidana pemilu legislatif telah mengakibatkan terpenuhinya prinsip demokrasi ? Hasil penelitian penulis mengenai pemilu legislatif sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD yang diselenggarakan secara LUBER dan JURDIL serta dilaksanakan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sekali sesuai UU No. 10 Tahun 2008. Dalam penelitian ini penulis menemukan berbagai permasalahan pemilu legislatif tahun 2009 yang harus diperbaiki, diantaranya yang menjadi fokus penelitian dalam tahap formulasi dan tahap aplikasi mengingat faktanya dalam tahapan formulasi pembahasan undang-undang pemilu legislatif sangat bersifat elitis, maka penulis menyarankan sebagai alternatif solusi untuk memaksimalkan pembahasan rancangan undang-undang pemilu legislatif kedepan, melalui mekanisme partisipatif atau paling tidak sesuai dengan substansi yang diisyaratkan dalam demokrasi deliberatif.
Di samping permasalahan formulasi di atas, yang menjadi permasalahan pada tahap aplikasi dimana dalam penegakan hukum pidana pemilu, tidak sedikit kasus pidana pemilu legislatif belum diputus pada saat tahapan pemilu legislatif sudah selesai. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya ketidak pastian hukum dan berpotensi melanggar hak azasi manusia. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka penulis memberikan re-definisi tentang tindak pidana pemilu
ii
sebagai dasar argumentasi dari pelaksanaan pidana pemilu, penulis membagi menjadi 2 (dua) kategori definisi pidana pemilu diantaranya :
1. Tindak Pidana Pemilu Khusus adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU Pemilu maupun UU Tindak Pidana Pemilu;
2. Tindak Pidana Pemilu Umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU Pemilu maupun UU Tindak Pidana Pemilu dan penyelesaiannya di luar tahapan pemilu.
Pemahaman tersebut didasari oleh pertimbangan agar ada kesinambungan penyelesaian permasalah pemilu, maka dibutuhkan argumentasi yuridis yang dapat mendukung penyelesaian permasalahan pemilu legislatif di luar tahapan pemilu di atas. Implementasi pemahaman di atas pada prakteknya harus sejalan dengan pembenahan institusi peradilan pemilu, dimana peradilan pemilu ke depan tidak lagi bersifat ad-hoc tetapi permanen. Dengan demikian maka penulis menyarankan adanya perubahan UU No. 10 Tahun 2008 yang harus mengakomodir alternatif solusi pemahaman di atas dan penyelarasan hukum acaranya, serta untuk melaksanakan peradilan pemilu permanen maka diperlukan adanya perubahan secara sinergi UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum yang harus mengakomodir peradilan pemilu permanen. Gambaran penegakan hukum pidana pemilu legislatif di atas merupakan manispestasi dari 6 (enam) nilai yang terkandung dalam prinsip-prinsip negara demokrasi diantaranya: 1) negara hukum yang berkeadilan; 2) negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia; 3) pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat; 4) pemilihan umum yang bebas dan bertanggung jawab; 5) prinsip mayoritas dan menghargai minoritas; dan 6) adanya jaminan terhadap hak-hak demokrasi warga negara.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
dis122 | D/DIG - PDIH | Disertasi | 345.023 24 MUL k/11 | Perpustakaan (PDF) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain