Computer File
Analisis yuridis terhadap terminologi non-obviouness sebagai standar dalam menilai langkah inventif pada permohonan paten
UUP 2001 Pasal 2 ayat (2) menjelaskan bahwa syarat langkah inventif paten terpenuhi apabila petugas pemeriksa paten menilai bahwa invensi yang diajukan permohonan paten bersifat non-obvious. Namun, mengenai kapan suatu invensi bersifat non-obvious, tidak dijelaskan dalam UUP 2001. Akibatnya, petugas pemeriksa paten sulit untuk memberikan penilaian yang konsisten terhadap sifat non-obviousness invensi. Untuk mengatasi inkonsistensi, dibutuhkan suatu pedoman umum untuk menilai sifat non-obviousness suatu invensi. Pedoman umum tersebut diperoleh dengan membandingkan pedoman non-obviousness yang digunakan oleh Amerika dalam teori Faktor Graham dengan Eropa dalam teori problem-solution. Amerika dan Eropa dipilih karena negara-negara tersebut memiliki pengaturan syarat langkah inventif yang sama dengan Indonesia dan karena negara-negara tersebut memiliki hukum paten yang jauh lebih berkembang apabila dibandingkan dengan Indonesia. Di Indonesia, pedoman penilaian non-obviousness terdapat dalam juknis Paten. Pedoman dalam juknis Paten hanya merupakan terjemahan langsung dari teori problem-solution di Eropa. Masalahnya, terjemahan dari teori problem-solution dalam Juknis Paten tidak tepat. Selain itu, pedoman dalam Juknis Paten juga memiliki kelemahan yang sama dengan teori problem-solution, yaitu tidak membahas mengenai tingkat keahlian rata-rata dari orang yang ahli di bidang teknik. Untuk memperbaiki penilaian sifat non-obviousness di Indonesia, pedoman umum penilaian non-obviousness yang berasal dari perbandingan antara teori Faktor Graham dengan teori problem-solution digunakan.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp7443 | DIG - FH | Skripsi | SKP-FH TAN a/11 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain