Computer File
Peranan analisis break even dalam menentukan volume penjualan kamar di Hotel Sahid Topas Galeria Bandung
Pemerintah Indonesia tengah berupaya untuk meningkatkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan. Salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan sumber penerimaan negara adalah industri pariwisata. Melalui pariwisata diharapkan adanya peningkatan devisa negara baik dari wisatawan domestik maupun wisatawan asing.
Selama berada di Indonesia wisatawan tersebut mengeluarkan banyak dana misalnya untuk keperluan akomodasi, konsumsi, transportasi, hiburan, dan lain-lain. Dan data komponen pengeluaran wisatawan diketahui bahwa hampir 30% pengeluaran wisatawan digunakan untuk akomodasi.
Hotel Sahid Topas Galeria sebagai salah satu hotel yang cukup besar di Bandung berusaha untuk menunjang program pariwisata pemerintah dalam bidang akomodasi dengan cara menyediakan kamar dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat dan memberikan pelayanan yang baik.
Semakin banyaknya hotel di Indonesia mengakibatkan persaingan dalam industri perhotelan akan semakin ketat. Hotel Sahid Topas Galeria Bandung perlu menghasilkan tingkat laba yang cukup untuk dapat bertahan dan berkembang dalam industrinya. Laba diperoleh bila hasil penjualan lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan. Besarnya laba dipengaruhi oleh tiga faktor , yaitu : 1. Total biaya 2. Volume penjualan 3. Harga jual
Maka untuk dapat meningkatkan laba perusahaan harus mampu meningkatkan volume penjualan dan atau menekan biaya secara bersamaan.
Salah satu alat analisis yang diharapkan dapat membantu manajemen perusahaan dalam mencapai laba yang ditargetkan adalah analisis break even. Dengan analisis break even dapat diketahui titik break even perusahaan, yaitu keadaan dimana perusahaan tidak mengalami kerugian dan tidak memperoleh laba. Dan persamaan break even ini bila dimasukkan unsur laba, juga dapat diketahui penjualan minimal yang harus dicapai untuk mendapatkan laba yang direncanakan.
Hotel Sahid Topas Galeria Bandung selama ini belum melakukan analisis break even dan belum pula menggolongkan biaya menjadi biaya tetap dan biaya variabel Data yang dipergunakan untuk perhitungan ini perlu diolah kembali bila perusahaan ingin menerapkan analisis break even dalam pecapaian laba.
Dari pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis diketahui bahwa break even point rata-rata selama periode Januari-Juni 1998 adalah sebesar Rp. 97.478.828.13. Jika dinyatakan dengan jumlah kamar, perusahaan perlu menjual 802 kamar, dengan komposisi : Suite Room 30 kamar, Deluxe Room 249 kamar dan Superior Room 523 kamar. Atau dengan kata lain break even dicapai pada saat occupancy rate sebesar 25%.
Jika perusahaan menetapkan target profit margin sebesar 50%, maka penjualan minimal yang harus dicapai perusahaan adalah sebesar Rp.223897.341,786. Jika dinyatakan dalam jumlah kamar adalah sebesar 1.926 karnar [occupancy rate sebesar 61%) dengan komposisi : Suite Room 73 kamar, Deluxe Room 598 kamar dan Superior Room 1.255 kamar.
Sedangkan jika perusahaan menurunkan biaya variabel sebesar 5%, tingkat break even yang harus dicapai mengalami penurunan dari Rp 97.478.828,13 menjadi Rp 97,273,851,093. Dan laba yang diperoleh perusahaan dengan adanya penurunan biaya variabel adalah sebesar Rp 70.592.774,4825.Jika digunakan pendekatan produk mix, break even dicapai pada saat penjualan kamar mencapai 801 kamar (occupancy rate 25%), dengan komposisi : Suite Room 30 kamar, Deluxe Room 249 kamar dan Superior Room 522 kamar.
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis, penulis menyarankan agar pihak manajemen perusahaan menggunakan analisis breakeven agar target laba yang tetah ditetapkan tercapai dan agar perusahaan terhindar dari kerugian.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp2650 | DIG - FE | Skripsi | MANAJ DAM p/99 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain