Computer File
Partisipasi perusahaan terhadap pasal 13 dan 14
Dalam dunia yang amat padat ini, ternyata hampir 10% nya adalah
penyandang cacat, dan kondisi ini berlaku pula di Indonesia. Dengan jumlah yang cukup
banyak tersebut telah mendorong Pemerintah untuk membentuk suatu undang-undang
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial mereka, dan diwujudkan dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997.
Salah satu yang diatur dalam undang-undang ini adalah mengenai hak
penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan dan kewajiban dai perusahaan (baik
swasta maupun pemerintah) untuk mempekerjakan penyandang cacat dalam
perusahaannya. Hal ini penting mengingat kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial penyandang cacat bukan semata-mata kewajiban pemerintah, tapi juga kewajiban
dari seluruh rakyat Indonesia, yang dalam hal ini adalah perusahaan, karena hak
penyandang cacat untuk dipekerjakan sebagai tenaga kerja berkaitan erat dengan yang
mempekerjakan, yaitu perusahaan.
Perusahaan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah perusahaan yang
mempekerjakan lebih dari 100 tenaga kerja, sebagaimana digariskan dalam Undang-undang
tentang Penyandang Cacat. Salah satu jenis perusahaan yang mempekerjakan
lebih dari 100 tenaga kerja adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertelevisian,
oleh karena itu empat perusahaan televisi swasra dijadikan sampel penelitian untuk
skripsi ini.
Undang-undang tentang Penyandang Cacat mengkategorikan pelanggaran
dari ketentuan mengenai kewajiban perusahaan mempekerjakan penyandang cacat
sebagai tindak pidana pelanggaran, dan akan dikenakan sanksi berupa denda dan/atau
kurungan, jadi ketentuan tersebut adalah ketentuan yang memaksa. Namun pada
kenyataannya, masih banyak perusahaan yang belum (tidak) mempekerjakan
penyandang cacat.
Hal ini tampak dari hasil penelitian Penulis dimana baru satu perusahaan
yang mempekerjakan penyandang cacat sesuai dengan kuota yang ditetapkan
Pemerintah, sementara tiga perusahaan lainnya tidak mempekerjakan sama sekali.
Perusahaan yang belum mempekerjakan penyandang cacat memiliki berbagai alasan
mengapa mereka belum melaksanakan ketentuan tersebut, misalnya bahwa perusahaan
tidak mengetahui keberadaan Undang-undang tentang Penyandang Cacat.
Dari hasil penelitian Penulis, dapat disimpulkan bahwa sebagian perusahaan
televisi swasta nasional belum berpartisipasi untuk melaksanakan ketentuan mengenai
kuota tenaga kerja penyandang cacat, dimana salah satu kendalanya adalah
ketidaktahuan perusahaan akan keberadaan undang-undang ini. Lebih lanjut ditemukan
bahwa rantai informasi mengenai keberadaan undang-undang terputus akibat kurangnya
koordinasi antara Pemerintah dan Perusahaan. Selain itu petugas yang bertugas
mengawasi perusahaan agar melaksanakan ketentuan mengenai kuota tenaga kerja
cacat belum ada, sehingga perusahaan tidak memiliki faktor pendorong agar
melaksanakan ketentuan mengenai kuota ini, ditambah lagi kelangkaan penyandang
cacat yang melamar kerja pada perusahaan, serta adanya pandangan dari perusahaan
bahwa penyandang cacat tidak mampu bekerja di stasiun televisi yang berhubungan erat
dengan komunikasi dan masyarakat, dan pekerjanya akan membawa citra perusahaan.
Adapun beberapa saran yang diberikan agar terjadi peningkatan partisipasi
perusahaan terhadap ketentuan kuota tenaga kerja cacat ini antara lain: bagi perusahaan
yang belum berpartisipasi adalah dengan mengadakan kerjasama dengan penyalur
tenaga kerja penyandang cacat; bagi pemerintah adalah dengan membuat iklan layanan
masyarakat mengenai pentingnya memberi pekerjaan kepada penyandang cacat; bagi
penyandang cacat sendiri adalah dengan meningkatkan kepercayaan diri penyandang
cacat agar berani melamar pekerjaan pada perusahaan.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp9355 | DIG - FH | Skripsi | HUKUM YUL p/02 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain