Computer File
Tinjauan terhadap kekuatan mengikat surat wasiat berobjek tanah tanpa akta notaris dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan kompilasi hukum Islam
Wasiat merupakan salah satu cara peralihan hak kepemilikan seseorang kepada orang lain atas dasar kehendak dari pemilik hak tersebut dan pelaksanaannya berlaku pada saat ia meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman hukum Islam di Indonesia mengatur ketentuan terkait pembuatan wasiat, yaitu pada Pasal 195 ayat (1) yang menyatakan suatu wasiat yang dibuat secara tertulis dapat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris. Ketentuan tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena terdapat peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undangundang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 60 Tahun 2016 yang menegaskan bahwa surat wasiat harus dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Wasiat yang dilakukan dengan disaksikan oleh dua orang saksi berbentuk akta di bawah tangan, sedangkan wasiat yang pembuatannya oleh atau di hadapan Notaris memiliki bentuk akta otentik. Pada dasarnya, ketentuan dalam KHI seakan menyatakan baik wasiat yang berakta otentik dengan wasiat yang berbentuk akta di bawah tangan memiliki kekuatan hukum yang sama, akan tetapi KUHPerdata mengatur bahwa kedua bentuk akta tersebut memiliki kekuatan hukum yang berbeda. Oleh karena itu, menjadi suatu permasalahan hukum jika terdapat sengketa terkait bentuk surat wasiat yang berbeda saling beririsan karena objek wasiatnya yang sama maka bentuk surat wasiat manakah yang dapat dilaksanakan, serta ketentuan dalam KHI atau KUHPerdata yang akan digunakan. Pada dasarnya, hukum waris berdasarkan KHI dengan hukum waris berdasarkan KUHPerdata merupakan sistem hukum yang berbeda sehingga dapat terjadi ketidakpastian hukum jika kedua sistem hukum tersebut diberlakukan bersamaan. Namun dalam hal terjadinya sengketa antara wasiat berbentuk akta di bawah tangan dengan akta otentik maka berdasarkan hierarki peraturan perundangundangan, kedudukan KUHPerdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 lebih tinggi dibandingkan KHI yang disahkan melaui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 karena Inpres merupakan peraturan pelaksana yang kedudukannya di bawah Undang-Undang. Selain itu, PERMENKUMHAM No. 60 Tahun 2016 merupakan peraturan yang terbaru dibandingkan dengan KHI sehingga ketentuan dalam KHI dapat dikesampingkan.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
skp44178 | DIG - FH | Skripsi | SKP-FH DES t/22 | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Tidak tersedia versi lain