Computer File
Penerapan percampuran konsep budaya Sunda dan Jawa pada arsitektur Kampung Kuta, Ciamis
Arsitektur, khususnya arsitektur Vernakular, selalu terbentuk dari konteks
budaya dan kebudayaan yang melatar belakanginya. Pada dasarnya wujud arsitektur
yang terdiri dari elemen–elemen bentuk dan ruang merupakan hasil adaptasi
manusia terhadap lingkungan di mana manusia tersebut hidup dan berkembang.
Kebudayaan di dalam dunia ini senantiasa berkembang. Begitu banyak
artefak, serta peninggalan yang dapat menunjukkan perkembangan suatu
kebudayaan, salah satunya yang dapat dikenali adalah arsitektur. Arsitektur adalah
artefak kebudayaan manusia. Dengan kata lain arsitektur terbentuk karena pengaruh
latar belakang kebudayaan masyarakatnya.
Di Indonesia proses percampuran budaya biasa terjadi, karena adanya gejala
interaksi sosial masyarakat setempat dengan masyarakat pendatang yang memiliki
latar belakang serta kebudayaan yang berbeda.
Percampuran kebudayaan dapat terjadi apabila suatu kelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada konsep-konsep kebudayaan
asing yang berbeda sehingga menghasilkan suatu konsep kebudayaan yang baru.
Proses percampuran budaya akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
masyarakatnya, misalnya adat istiadat kehidupan sehari-hari dan tatanan bentuk
arsitekturnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, serta adanya arus globalisasi,
masyarakat Sunda senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan kondisi kehidupan nyata. Meskipun demikian masyarakat Sunda
masih memegang teguh tradisi dengan memberlakukan tabu ”pamali” pada
kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan adat istiadat mereka. Keteguhan memegang tradisi diatas, dapat dilihat pada kampung Kuta,
Ciamis. Oleh sebab itu kampung ini dijadikan sebagai objek studi. Kampung Kuta
berada di wilayah Kabupaten Ciamis, Kecamatan Tambaksari, Desa
Karangpaningal. Letak Kampung Kuta lebih kurang 32 km dari jalan negara yang menghubungkan Propinsi Jawa Barat dan berbatasan dengan batas wilayah propinsi Jawa Tengah. Dua temuan penting dalam studi ini adalah : pertama, karena adanya keterbatasan bentuk dan bahan bangunan yang digunakan, maka masyarakat mencoba untuk mengembangkan tata letak ruang dengan tidak melanggar aturan “pamali” yang berlaku. Terdapat 5 tipe dasar rumah dengan tata letak ruangan
yang berbeda tetapi mempunyai satu hirarki yang sama. Yaitu: (1) Letak enggon harus sejajar dengan goah (2) Letak tengah imah harus sejajar dengan pawon. Ternyata masyarakat Kuta percaya, perletakan ruang ini sangat berpengaruh
terhadap efek psikologi. Kedua, Pada arsitektur kampung Kuta, elemen “unsur” “atas” tidak terlalu
berpengaruh terhadap tatanan bentuk rumah. Terlihat dari sebagian menggunakan atap jure dan ada beberapa yang menggunakan atap pelana, ini menunjukan bahwa tidak adanya hubungan antara “atap” dengan “badan”. Selain
itu juga dapat dilihat dari interior rumah, yang cenderung semua ditutup menggunakan lalangit (plafon) sebagai penutup wuwungan. Ini menunjukan bahwa adanya pemutusan hubungan antara “unsur” atas” dengan “unsur” “bawah.
konsep-konsep budaya (adat istiadat) yang dominan mempengaruhi bentukan arsitektur kampung Kuta, di bagi atas tiga, yaitu : (1) ”unsur ”bawah” yang sangat di pengaruhi oleh Budaya Jawa. Terlihat dari perlakuan masyarakat
Kampung Kuta terhadap ”unsur” bawah” dengan melakukan ritual-rituan dan memberikan sesajen sebelum meletakan tatapakan (pondasi). Tatapakan berasal dari batu alam yang di pahat menyerupai balok persegi 0,40 x 0,30 meter. (2)
Diantara ”unsur” ”atas” dengan ”unsur” bawah” di pengaruh oleh Budaya Sunda dan Jawa. Pengaruh budaya Sunda ditandai dengan adanya larangan membuat bentuk nyekon (siku). Budaya Jawa terlihat pada penggunaan jenis material
jendela gebyog pada setiap rumah yang di tempatkan pada enggon dan pawon. Budaya Jawa tercermin juga terhadap pawon lantainya langsung ke tanah (ngupuk). (3) ”Unsur” ”Atas” : Bentuk atap yang sebagian besar adalah pelana
dengan jure ini menunjukan bahwa pengaruh Jawa sangat kuat, selain itu juga keuntungan menggunakan atap pelana adalah perletakan jendela bisa di setiap sisi karena di Kampung Kuta tidak adanya hirarki semua dianggap sama.
Barcode | Tipe Koleksi | Nomor Panggil | Lokasi | Status | |
---|---|---|---|---|---|
tes817 | T/DIG - PMA | Tesis | 721.046 ANN p | Perpustakaan | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain